Tuesday 10 March 2015

5. PIKNIK YUK

PIKNIK YUK

Menanggapi hal yang tidak serius dengan serius. Membuat hal serius seakan tidak serius. Seperti sifat alamiah manusia yang tidak benar-benar berubah (Namariiro no FICTION – Aqua Timez)

Saatnya refreshing, setelah sekian lama berkutat dengan tulisan dan liputan dikerubutin para kimchil dan alayers. Perlu banget menyegarkan otak dengan jalan-jalan, yang lebih enak lagi bertualang tetapi gratis, alias biaya dari kantor. Ngomongin jalan-jalan masih ada satu rubrik lagi yang aku garap yaitu Piknik.

Rubrik ini berisi tentang tempat wisata atau serunya bertualang di suatu kota. Tempat pikniknya juga masih sekitaran Jogja atau Jawa Tengah,  pengennya sih ke Raja Ampat, Pulau Derawan di Kalimantan, Pulau Flores atau ke Singapura juga boleh tapi apa daya pembaca kita para Kimchil yang tersebar di Jogja dan Jawa Tengah jadi lebih baik menampilkan tempat wisata yang dekat dengan mereka. Disamping itu perusahaan nggak kuat biayain repoter gajebo seperti aku dan mas Dita.

Hari ini rencananya aku hanya mau ngetik di kantor. Sekalian mau ngebahas rubrik Piknik bareng mas Dita dan Preti. Seperti biasa setiap pagi pasti ada saja keributan di ruang marketing yaitu rebutan komputer dan printer, di ruang marketing cuma ada 2 komputer padahal marketingnya ada 4 jadinya rebutan dan computer anak redaksi pun di bajak mereka. Kulihat komputer ku sedang di pakai mas XO, mending aku ngeteh dulu di teras lagian aku nggak buru-buru ngetik (dibaca nggak pernah ngetik di kantor). Di teras juga ada mas Dita lagi ngopi sambil baca majalah Vough.

“Mas Dita,” aku menyapa dia. Tetapi dia membalas dengan berdehem tapi tidak mengalihkan perhatian ke aku. “Mas Dita, kapan kita piknik buat edisi depan? Mumpung luang nih, lagian tugas regulerku udah kelar semua.”
Mas Dita segera menutup majalah tersebut dan menaruhnya di kolong meja. “Terserah kamu ja Tong, kan aku tinggal ngikut.
“Ya sih, aku juga belum ngomongin sama Preti and Bos.” Preti yang baru sampai kantor sebelum masuk ruang redaksi segera ku cegat. “Pret, rubrik Piknik kemana nih?”
“Bentar donk, gue baru aja nyampe. Gue taro tas dulu.” Preti langsung ngeloyor masuk ruang redaksi dengan muka di tekuk.
“Yang deket aja dech mas, jangan jauh-jauh dari Jogja. Kalau bisa sih yang di Jogja aja,lanjutan diskusi ku pada Mas Dita.
“Kamu pengennya kemana?” Mas Dita malah nanya balik ke aku.
Tokyo,hahahahah,” jawabku bercanda. “Pengen banget bisa liat Aqua Timez konser bila perlu aku interview mereka.” Aku malah menjelaskan alasannya ingin ke Tokyo.

Kulihat Bos keluar dari ruangan kayaknya sih mau pergi, dia udah pegang kunci mobilnya. Dia mampir ke kubikelnya Preti, agak lama. Aku bisa menerka Preti lagi kena “tausyiah” lanjutan, karena tadi aku liat wajah Preti ditekuk gitu, pasti sebelum berangkat di telpon Bos disuruh cepet ke kantor untuk kembali menyatap tausyiah. Dari raut muka Bos juga kayaknya serius banget. Dalam batin ku, Preti ngelakuin apa lagi ya? Rebonding rambut kritingnya atau dia nyulap artikelnya jadi resep makanan. Entah lah, kita kepoin aja setelah mereka berdebat. Mampus, Bos udah kelar tausyiahin Preti sekarang sedang jalan keluar menuju teras. Segera aku nyiapin mental barang kali kena epilepsi mendadak. Dia semakin mendekat dan mendekat akhirnya keluar juga dari ruangan redaksi. Yang aku harapin dia langsung menuju mobilnya dan langsung kabur dari kantor tetapi kenyataannya dia malah duduk kursi teras bergabung dengan aku dan mas Dita.
“Kerjaan kamu sudah selesai semua?” tanya Bos memulai percakapan, nadanya datar wajahnya juga sedatar tembok.
“Udah Bos, tinggal beberapa aja yang belum selesai diketik, itu juga liputan kemarin,” jawab ku meyakinkan agar emosi dia stabil, padahal kenyataannya masih banyak artikel yang belum ku ketik. Aku nggak mau pagi yang indah ini terusik oleh tausyiah dari Bos. “Sama ini Bos kurang rubrik Piknik, bingung mau kemana,” aku mengalihkan percakapan agar tidak terjebak soal benimbunan tulisan yang belum ku ketik.

“Terserah kamu aja kemana, keluar kota aja sekalian.

Aku diam sesaat, aku berharap dengan diam dia akan segera melanjutkan kegiatannya, tapi dia masih tetep duduk menunggu jawaban ku. Tapi sempat girang juga sih di usir keluar keluar dari Jogja buat liputan kesempatankan buat jauh-jauh dari kantor yag horror.

“Aku sih penginnya liputan beberapa museum yang ada di Jogja,” aku mengusulkan ide untuk rubrik Piknik.
Mata dia langsung terbelalak dan menarik nafas dalam siap menyemburkan perkataan yang belum ku tau apa yang akan terucap. “Apa museum? Dimana nilai jualnya? Museum gitu-gitu aja nggak ada istimewanya cuma majang benda-benda aneh gitu. Jangan itu ganti aja, kecuali kalau museum itu mau ngiklan”

Mampus aku kena juga seumburan mautnya mungkin ini sisa-sisa dari amukan dia ke Preti. “Sapa bilang museum nggak ada istimewanya? Ni dodol amat kalau nggak ada museum kita nggak bisa belajar untuk masa depan. Museum nambah pengetahuan, remaja jangan di cekokin hedonis mulu. Mereka harus tau karya nenek moyangnya,” untung perkataan tersebut terucap dalam hati. Aku menghela nafas “Nggak semua museum seperti itu kali Bos. Pilih yang bagus.

“Nggak, pokoknya nggak cari yang lain saja,Bos keukeh menolak usulan ku.

Mas Dita diem aja, aku tau dia paling males ngadepin Bos yang lagi berkoar nggak jelas. Aku nggak mau kalah pokoknya tetep museum. “Ke museum kereta aja dech di Ambarawa itu kan menarik, museumnya out dor dan banyak obyek wisata lainnya disana. Ada rawa pening dan ada benteng peninggalan Belanda”
Bos terdiam tanpa jawaban, dan aku hanya menerka membaca pikirannya biasanya pas berdepatan lalu diam sejenak berarti dia akan setuju. Jika dia langsung cuap-cuap tandanya dia nggak setuju. “Ok ke Ambarawa,jawab dia singkat sambil mengambil ancang-ancang akan berdiri. Bos melanjutkan perjalanan ke mobilnya.

Aku hanya tersenyum kemenangan sambil melirik mas Dita. Akhirnya bisa keluar kota juga piknik gratis. Mas Dita juga membalas senyum. Setelah itu aku buru-buru masuk ruang marketing menuju mejanya Wedo yang berprofesi sebagai sekretaris perusahaan.

Kulihat Wedo sedang nelpon pesen air gallon. Aku duduk dihadapannya nggak sabar menunggu Wedo mengakhiri telponnya. Mungkin dia tau kali ya apa yang ada dipikiranku dia langsung menutup telpon tersebut. “Apa? Pasti mau nanya minggu ini Bos keluar kota apa nggak.”
“Bener banget, kok tau sih?” Aku cengar cengir.
“Tau lah kamu kan pasti kalau ke sini pasti nanyain kaya gitu kalau nggak minta duit buat bayar klaim.” Ternyata Wedo sudah hafal kebiasaan ku. Wedo segera membuka buku agenda. “Besok dia ke Solo dua hari, hari Kamis dia nggak ada jadwal keluar kota sampai Rabu minggu depan.”
“Ok, arigatau Wedo-chan,” aku segera beranjak dari meja Wedo, dan berjalan menuju mas Dita yang masih ngejogrok di kursi teras. Ruangan marketing juga masih ada keributan jadi males berlama-lama disini
“Mas Dita kita berangkat hari Kamis ya pas Bos ada di kantor. Males banget kalau ada dia,hehehe. Nanti aku bilang Preti semoga dia setuju, tiga hari ini pengen di kantor mumpung nggak ada dia biar aku bisa kerja dengan tenang dimeja ku sendiri”
“Aku sih manut kamu aja.”
Ada apa nih mau jalan-jalan ya?” Liya langsung nyamber aja.
“Iya, ni mau liputan ke Ambarawa buat rubrik Piknik,jawab Mas Dita.
“Ikut donk…..kan aku libur hari Kamis?” rengek Liya.
“Jeng Liya, hari Kamis kan kamu libur Ya. Mending kamu males-malesan di kost atau facial atau ngapain lah. Kalau kamu ikut malah jadinya kerja juga gimana?” Jegal ku melarang Liya ikutan. Coba kalo ikutan pasti bakal ribet, dia lebih rewel lagi dari pada Preti. Pasti dia ogah jalan jauh apalagi sampai mblasuk-mblasuk sawah. Padahal biasanya aku sama mas Diki suka nyleneh kalau piknik cari jalan beda.

Mas Dita segera menambahkah alasannya. “Nanti Mbak Tari curiga koq klaimnya banyak banget yang kena kita juga.”
“Yah koq gitu sih? Aku bayar sendiri dech,teknik Liya memelas. Namun kita sudah biasa menghadapinya.
“Mending duitnya buat beli baju tuh, bentar lagi ada midnight sale di Centro. Kamu ajakin Uyun pasti dia juga mau.” Aku semakin mencari alasan.
“Liya…..buruan artikel gosip seleb baratnya…” teriakan Preti memekakan telinga, menyuruh Liya segera bekerja kembali. Syukurlah Preti menyelamatkan kita.
“Belum kelar ya, nanti siang kita bahas lagi atau besok.” Mata Liya mendelik tanda menggertak sambil ngeloyor masuk kantor.

@@@

Hari Kamis
Hari ini bangun pagi-pagi dengan segar dan ceria meskipun udara dingin banget tetapi anggap saja hangat karena hari ini nggak perlu ngantor tetapi jalan-jalan. Tadi malem aku udah SMS Preti dan Bos kalau hari ini mau liputan ke Ambarawa bareng mas Diki jadi nggak ngantor. Bos langsung menyetujui kalau aku nggak ngantor.

Aku sudah janjian sama mas Dita ketemuan di Terminal Jombor. Kabut pagi tipis ku terjang dengan kebahagiaan. Lalu lintas kota Jogja belum ramai, jadi cukup singkat perjalanan ke terminal. Sampai sana aku langsung menitipkan motor dan langsung ke agen bus Nusantara lalu membeli dua tiket. Tak perlu menunggu lama mas Dita datang juga. Kita hanya saling menyapa lalu langsung naik bus.


Aku dan mas Dita duduk deretan ke tiga sisi kiri, kenapa pilih sisi kiri karena kalau sisi kanan panas karena sinar matahari langsung menyinari. Tepat pukul 7 bus berjalan menuju Ambarawa. Selama perjalanan ku pakai untuk tidur karena hawa ngantuk masih menyelimuti mata. Seperti biasa tiap kali perjalanan di temanin lagu-lagunya Aqua Timez yang keluar dari headphone. Sepertinya Mas Dita juga masih ngantuk jadinya ikutan tidur

“Ambarawa…..Ambarawa….Ambarawa.” Suara Kondektur yang tambun membahana di bus menganggetkan sebagian penumpang yang terlelap tidur termasuk aku dan mas Dita. Nggak perlu menyadarkan diri berlama-lama aku langsung menyurung mas Diki untuk segera berdiri karena kita sudah sampai. Untung bapak kondektur baik hati membangukan penumpangnya coba kalau nggak bisa-bisa kita turunnya di Semarang.

Kita turun tepat di depan tugu Palagan Ambarawa yang merupakan saksi bisu tempat pertempuran Indonesia melawan Belanda. Kita segera berjalan menuju museum yang letaknya 800 meter dari jalan raya. Fuih meskipun kota ini ada di ketinggian 500m dpl, tetapi matahari menyengat sekali di kulit. Serasa jauh sekali perjajalan ini.

“Tong dimana toh museumnya?” ternyata mas Dita sudah merasa kelelah juga. Mungkin nggak tahan sama teriknya matahari.
“Itu udah deket koq, sebelum rel kreta belok kanan.” Ku tunjuk perlintasan kereta api yang ada didepan.
“Lah Mas Dita belum pernah po ke sini?”
“Kamu tau kan kalau aku nggak pernah jalan-jalan di Jawa Tengah jadi mana pernah ke sini,” Ya sih mas Dita asli Bali, dari lahir sampai besar di Bali jadi nggak pernah jalan-jalan ke Jawa Tengah.

Kita masih terus berjalan dan belok ke kanan, dari kejauhan sudah terlihat Museum Kereta Api Ambarawa. Museum tersebut berbentuk stasiun yang tidak terlalu besar. Rasanya udah nggak sabar pengen cepet nyampe biar bisa ngadem.

Ahkirnya nyampai juga aku langsung duduk lunglai di kursi yang panjang kayaknya dulu ini kursi untuk menunggu kereta lewat. Di stasiun ini adem banget padahal terbuka seperti ada dinding yang menahan hawa panas. Ini salah satu museum yang terawat, cat tembok yang masih bagus dan yang menakjubkan semua peralatan perkereta apian jaman Belanda kondisinya masih bagus, kata bapak petugas masih bisa di pakai. Di sini ada 3 ruangan ada yang dipakai untuk kantor museum ada juga yang di pakai untuk ruang pameran.

Energi sudah kembali normal saatnya berjalan-jalan. Kalau aku sih lebih suka ngelihat foto-foto yang ada di ruang pameran, sedangkan mas Dita entah kemana, mungkin dia sedang motret lokomotif yang teronggok di sisi kanan peron. Aku menduga dulu stasiun ini stasiun yang besar dan ramai dilihat dari foto yang tertempel di dinding. Dulu nama stasiun ini adalah Willem 1 diambil dari nama raja Belanda. Stasiun ini berfungsi untuk keperluan militer karena kota Ambarawa tempat tangsi militer.

Aku jadi membayangkan kalau pada zaman Belanda dulu waktu stasiun ini masih berfungsi pasti stasiun ini salah satu yang sibuk di pulau Jawa, apa lagi disini basis militer Belanda. Kalau nggak ada Belanda belum tentu pulau Jawa ada perlintasan kereta api. Sampai sekarang jalur kereta yang masih terpakai adalah karya orag Belanda.

Sebenernya sih kalau liputan rubrik ini sama aja aku nganter mas Dita hunting foto karena aku sendiri nggak ada interview sama pengelola. Pernah dulu mau interview sama pengelola eh ternyata ribet harus ada surat liputan. Jadi untuk bahan tulisan aku cukup observasi dan melongok dari internet,hehehehe.
Setelah berkeliling, aku kembali lagi duduk menunggu mas Dita menyelesaikan foto-foto. Biasanya saking keasikan ngambil gambar Mas Dita sampai lupa waktu jadi aku harus turun tangan untuk ngingetin.

“Mas Dita ayo cabut yuk kita ke benteng Belandanya.
Mas Dita mendekat.”Kamu tau nggak tempatnya dimana?”
“Nggak,jawab ku cuek. “Ya nanti sambil jalan kita tanya lah, tuh tanya dulu sama bapak petugas.”
Setelah mas Dita tanya sama bapak petugas museum kita langsung berangkat.
“Jauh nggak toh mas bentengnya?”
“Katanya deket koq”

kita keluar museum berjalan ke arah jalan kita masuk tadi sampai mulut jalan kecil kita belok kanan melintasi rel kereta api. Aku pikir setelah belok akan menemukan benteng tetapi ternyata ada sebuah lapangan yang luas banget. Mana pula nih bentengnya?
“Mana toh mas bentengnya?” Kali ini aku mengandalkan mas Dita karena aku sama sekali nggak ngerti.
“Bentengnya ada di belakang tugu itu, jauh kan? Mau lanjut nggak?
”Wew, panas-panas gini jalan jauh banget pake acara muterin lapangan pula. Setelah sekian detik memikirkan. “Lanjut aja dech mas udah tanggung, tapi beneran ada di balik situ?”
Mas Dita mulai meragukan apa yang tadi di ucapkan. “Kata bapaknya sih gitu Tong.”
“Ok, tancap gas mas,aku menyemangati diri sendiri dan mas Dita.
Sambil jalan aku dan mas Dita ngobrol-ngbrol

“Aku nggak habis pikir dech kenapa usul ku di tolak mentah, yang liputan museum.” Aku menghela nafas dan rasa sebel itu bergejolak kembali.
“Ya namanya orang kolot mas. Taunya dia museum cuma gitu-gitu aja,” kata mas Dita sambil sibuk membidik objek, entah apa yang dia potret.
“Aku tau pasti dia tuh nggak pernah jalan-jalan ke museum pasti mikirnya di museum itu hanya ada benda usang.” Emosi ku turun sejenak. “Seharusnya kita yang bekerja di media harus mempublikasikan museum. Banyak museum yang nelangsa karena nggak ada pengunjung ya karena nggak ada publikasi kan. Orang-orang jadi nggak tau apa yang ada di dalem museum tersebut.” Emosiku meningkat sedikit, tapi mas Dita masih cuek saja.

Matahari yang terik membuat emosi semakin meletup-letup. Hawa pegunungan yang sejuk dapat dikalahkan pancaran panas matahari yang menghujam bumi dan menusukan panasnya pada ku. Berhubung masih pengen ngedumel aku terus ngoceh sendiri kaya orang gila, abisya mas Dita sibuk motret pemandangan yang indahya pake banget.

“Padahal tuh ya kalau kita ke museum kita pasti akan tumbuh rasa kebanggaan bahwa nenek moyang kita hebat nggak kalah sama negara barat. Kita juga punya tambah pengetahuan,aku masih terus aja nyerocos meskipun mas Dita nggak peduliin omonganku. “Harusnya majalah kita jadi gerbang agar para Kimchil dan Alayers itu sadar nggak cuma ke mall mulu tapi ke museum juga perlu. Sapa atau dengan ke museum mereka jadi tobat.”

“Mas kalau Kimchil sama Alayers tobat terus yang beli majalah kita sapa?” kata mas Dita menanggapi omelan ku.

“Heh! Bener juga ya kita hidup dari mereka ya,” aku menyadari kekeliruanku. “Mas mana bentengnya? Kita udah di ujung jalan,” aku juga menyadari kenapa belum sampai.“
“Ikuti aja jalan ini terus setelah asrama katanya.”
Makin pasrah aja dech ngikutin Mas Dita mau balik lagi udah nanggung. Kembali pada topic semula.
“Padahal masuk museum tuh murah banget ada yang 700 rupiah, tapi masih aja tetep sepi,aku mulai ngedumel lagi.
Kali ini mas Dita langsung menanggapi. “Yak karena mereka nggak tau mas. Dan image dari museum udah kaya gitu. Untuk merubah image tersebut siapa?”
“Media,jawab ku langsung. “Bener juga ya media itu bertugas memberikan image kalau datang ke museum itu menyenangkan.
“Tapi tong semua keputusan liputan kan ada di tangan bos. Jadi kalau otak bos media lain cetek, sama aja juga boong repoternya menggebu-gebu tapi nggak dapet ijin sama aja juga kan?” uih mas Dita tumben cerdas juga.

Setelah melewati gugusan asrama tentara terhampar luas sawah yang hijau menyegarkan mata. Nun jauh disana terlihat beberapa bangunan tua. Di sisi kanan kiri jalan dan tepat di ujung jalan ada bangunan besar  menyerupai penjara tapi itu masih jauh. Fuih masih perlu perjalanan jauh lagi nih, untung persediaan air masih banyak.

“Aku juga sebel sama pariwisata di Jawa banyak banget kita harus bayar ini itulah,” ku mengganti topic pembicaraan. “Kelihatannya sih murah kita bayar 3 ribu. Tapi kalau terus-terusan ya jadinya banyak juga.” Ku hentikan racauan yang gelas ini dengan menenggak minum dari botol. “Coba aja kita masuk kawasan wisata bayar. Terus kita masuk obyek wisata bayar, parkir bayar lagi terus masuk ke dalem bayar lagi coba habisnya lebih dari 10 ribu. Nggak efesien banget gitu. Jadi intinya wisatanya mahal!!”
“Ya begitulah Tong wisata di negara yang penuh dengan birokrasi.” Komentar Mas Dita singkat.
“Mas Dita kan pernah di Bali. Tapi nggak semahal ini dech. Parkir di pantai Kuta tetep dua ribu entah itu pas musim liburan atau hari biasa. Coba aja mas ke Malioboro parkiran pas musim liburan, jelang lebaran dan hari biasa harganya beda-beda. Kalau di Bali nggak ada pungutan masuk kawasan wisata kan? Di Jawa masuk kawasan wisata Kaliurang bayar terus masuk ke Kaliadem bayar lagi padahal kan masih satu tempat kenapa nggak di jadiin satu aja. Terus belum lagi masuk obyek wisatanya bayar. Di Bali mana ada kaya gitu. Masuk obyek wisata bayar nggak ada bayar masuk kawasan wisata.” Kicauan ku semakin geram oleh birokrasi yang ribet.
“Kalau di Bali mah semuanya kawasan wisata juga kali Tong,hahahha.”
“Tapi ada persamaan wisata di Bali sama di Jogja, sama-sama susah cari angkutan umum padahal kan wisatan nggak mesti bawa kendaraan pribadi. Mau nyewa kendaraan juga mahal.” Aku mendengus kesal, sambil membuka tutup botol, capek ngomong terus.
Ternyata ngomel-ngomel sendiri menjadikan perjalanan nggak berasa, tau-tau udah nyampe. Tapi ada suatu yang janggal.
“Tong, mana bentengnya?” tanya Mas Dita heran sambil menatap bangunan tua yang hampir rubuh itu.
“0o.Itu?” aku menjawab tapi dengan nada pertanyaan karena ragu juga.
“Itu bukan benteng dech.” Mas Dita mengernyitkan dahi. “Itu penjara kali. Tapi koq mirip benteng lagian itu kayaknya masih dipakai,”
“Coba tanya gih?”
“Ogah ah lagian kalaupun itu benteng beneran serem juga kali banyak ilalang gitu, nggak pas dimasukin majalah. Cabut aja yuk.”
“Bentar mas,” aku masih ragu untuk meninggalkan ini tempat, sebenernya pengin masuk dan beratanya. Tapi kalau dilihat-lihat lebih seksama juga horror. Bangunan itu tinggi ada beberapa lubang seperti ventilasi. Dan ada gerbang seukuran truk container aku liat didalamnya ada beberapa gedung yang tampak masih di pakai tapi kelihatan nggak ke urus. Di tembok juga ada tulisan “Pengunjung Wajib Lapor”.

“Ya udah mas kita cabut aja. Tapi lewat mana? Masa balik lagi jauh banget kali.”
“Itu ada jalan besar kayaknya” Mas Diki menunjuk sisi kiri penjara tetapi kita harus melewati pematang sawah yang sempit untuk menuju jalan tersebut.
“Terus kita haruas lewat sawah donk mas.”
“Mau nggak mau.” Mas Dita segera menggandeng tangan ku dan membawa aku ke persawahan.
Meskipun matahari masih terik tetapi berasa adem karena hijaunya padi membuat segar. Dengan hati-hati ku menapaki pematang sawah tersebut.
“Mas, aku yakin pasti Liya ogah kaya ginian. Dia kan maunya enak sendiri” kata ku sambil berjalan hati-hati.
“Pastinya lah mas, dia liputan ke desa aja ogah apa lagi yang kayak ginian.

Sekarang tepat ditengah-tengah perasawahan dan semakin jauh dengan jalan yang kita tuju. “Mas Dita, yakin lewat sini? Koq kayaknya semakin jauh dech.”
“Heh, bener juga makin jauh. Udah ikutin aku aja”
Tanpa protes aku ikutin saja Mas Dita. Terus menyusuri pematang sawah, tapi kali ini semakin mendekat tepian sawah.
“Lah mas kita udah dipinggir tapi lewat mana nih? Semuanya halaman belakang rumah” aku semakin bingung untuk mencari jalan keluar.
“Udah nurut ae toh.” Mas Dita terus berjalan menerobos kawat berduri. “Udah ikut aja.”
Sekali lagi aku pun mengikutinya dan benar ini adalah bagian belakang dari rumah sakit dengan bangunan tua. Kita berjalan melipir sisi rumah sakit, tak berapa lama kemudian sampai di jalan. Aku pikir bakal langsung sampai jalan raya waktu turun dari bus tetapi ternyata beda lagi. Mas Dita udah terus berjalan di depan ku dan aku tertinggal jauh. Buru-buru aku menyusul Mas Dita, ini orang makannya batu bara apa ya jalannya koq cepet banget kaya kereta uap aja.
Dari jauh Mas Dita berhenti berjalan dan berteduh dibawah rimbunnya pohon mangga. Mungkin dia kasian juga kali ya liat aku yang udah kelelahan dan dia membayangkan kalau aku jadi ngesot-ngesot.
Hap, sampai juga di tempat Mas Dita.

“Tong ada bebek goreng tuh.” Tunjuk Mas Dita di sebrang jalan.
“Yuk mas. Udah laper banget nih dari pagi belum makan.” Kali ini aku yang menarik Mas Dita.

Kita pesan dua bebek goreng dan es soda gembira. Sambil nungu pesenan dateng aku mainan handphone dan Mas Dita kembali mengecek foto yang telah dipotretnya tadi.  Capek juga mau ngomong dari tadi udah nyerocos sendiri, Mas Dita juga lagi asik sendiri, gitu tuh kalau udah nemu objek yang bagus untuk di foto lain nggak di anggap. Diwarung tersebut hanya aku dan Mas Dita saja yang makan jadi makanan cepat tersaji.

“Nih buat Entong dada yang ada sayapnya” Mas Dita menukarkan piring yang ada dihadapannya dengan piringku yang isinya paha. Aku membalas dengan senyum saja dan langsung makan.

Kita makan lahap sekali kayak udah berapa hari nggak nemu makanan. Dalam sekejap makanan tersebut tandas tak tersisa. Berhubung kita masih capek leyeh-leyeh dulu dech. Aku memutuskan untuk tidur sejenak kebetulan warung makannya lesehan. Sepetinya Mas Dita pun melakukan hal yang sama.

@@@

“Jeder……”
Suara kilat yang besar mengagetkan aku yang sedang asik bermimpi jadi kepala redaksi, ngayal tingkat dewa. Mas Dita pun ikut terbangun. Ternyata kita sudah hampir satu jam tertidur. Aku langsung melongok keluar dan langit sudah gelap. Kemana perginya matahari? Tadi perasaan masih panas terik koq sekarang malah gelap mendung pakai kilat pula. Inilah akibat pemanasan gelobal cuaca jadi nggak menentu tadi terik banget tiba-tiba langsung mendung. Aku dan Mas Dita bergegas jalan. Menurut bapak penjual bebek goreng jalan raya masih satu kilometer lagi.

“Mas pakai becak aja dech” usul ku
“Nggak ada becak mas” kata bapak penjual bebek.

What harus harus jalan lagi, kaki udah lempoh gini masih disuruh jalan lagi, ngesot aja dech. Sebelum aku protes pada diri sendiri dan keadaan, Mas Dita udah jalan terlebih dulu meninggalkan aku. Aku hanya bisa menghela nafas mingikuti Mas Diki. Dan perjalanan terasa semakin jauh ketika ada sebuah hamparan lapangan luas yang kita temui waktu menuju benteng yang sekarang berubah jadi penjara. Aduh masa muterin lapangan lagi sih. Rintik air dari langit akhirnya turun juga awan sudah nggak sanggup untuk menampung. Langkah kaki mas Dita semakin cepat, mau nggak mau aku jadi ikutan bapak tentara dech gerak jalan cepat mana ditamah sudukan diperut gara-gara sehabis makan langsung jalan jauh. Meskipun mas Dita jalan lebih cepat tetapi dia setia, setiap kali menyadari aku tertinggal jauh dia berhenti sejenak nungguin aku.
Akhirnya sampai juga di jalan raya, hujan turun semakin deras saja, terpaksa kita berteduh disebuah warung asongan disitu juga sudah ada kerumunan orang yang sedang berteduh. Derasnya hujan dan angina yang besar tetap membasahi tubuh ini, yang buat sebel nggak ada bus AC yang mau berhenti. Padahal aku sudah melambaikan tangan. Aku jadi mikir apa aku ketengah jalan aja kali ya biar berhenti. Hus, yang ada nanti nyawku yang berhenti. Ku urungkan niat tersebut.

“Kalau mau pakai bus AC dari terminal Bawen mas,” tegur seorang ibu yang ternyata penjual kaki lima tersebut.
“Jauh donk bu,” timpal ku
“Pakai angkot dulu,kata ibu itu lagi kasih informasi.

Sebelum ku jawab lagi perkataan ibu ada bus patas non AC berhenti, tanpa berkata apa-apa mas Dita langsung narik aku dan lompat ke dalam bus. Syukur dech udah dapet bus, aku ingin segera duduk dan tidur. Tetapi kenyataan tak seindah harapan, ternyata bus itu penuh nggak ada satu pun tempat duduk yang tersisa. Rencana tidur nikmat itu langsung buyar.

“Mas Dita ayo turun aja lah rame kayak gini. Kita ke terminal Bawen,” keluh ku ke mas Dita.
“Nah tuh kan tadi ngomongin Liya rewel, eh ternyata Entong juga rewel.”
Weks, aku disamain Liya, ogah dech. Tapi bener juga sih ternyata aku juga maunya enak sendiri,hehehehe. Untuk kesekian kalinya aku nurut sama Mas Dita. Mana capek dan ngantuk. Dari pada sebel dan manyun seperti biasa jurus paling ampuh adalah mendengarkan lagu-lagunya Aqua Timez dari headphone. Untung aja diluar hujan jadi dalam bus ngerasa adem dan lebih menyenangkan nggak ada ngerokok syukurlah pada sadar diri di tempat umum yang tertutup ini nggak ada yang ngerokok. Salah satu yang buat sebel naik bus nggak ada AC adalah ada penumpang yang ngerokok asapnya yang bikin enek.  

Orang yang tepat di sampingku berdiri dan sepertinya akan turun langsung saja aku menduduki kursi tersebut. Tak lama kemudian bis berhenti untuk menurunkan penumpang. Ada seorang ibu-ibu lebih tepatnya nenek dink juga naik. Dia terus berjalan semakin ke tengah bus untuk mencari tempat yang kosong atau mencari orang yang berkorban menggantikan tempat duduknya. Eh si nenek tersebut pasrah juga nggak ada yang orang yang mau mengorbankan tempat duduknya dia berdiri disamping ku. Jadi nggak tega dech litanya tapi aku udah ngantuk banget. Ah dari pada tidurnya nggak nyenyank akhirnya ku korban tempat duduk ku. Jadi berdiri lagi dech.
Haduh piknik kali ini tak seindah yang ku bayangkan. Kutengok kesana kemari koq mas Dita nggak ada kemana lagi tuh orang. HP yang ada disaku celana bergetar ku lihat ada SMS tenyata dari Mas Dita.
 “Aku di belakang Tong, sini ada tempat duduk kosong.” Aku langsung menoleh kebelakang, ku liat Mas Dita tersenyum pada ku dan melambikan tangan menyuruhku ke arahnya. Akhirnya dapet tempat duduk juga. Sepanjang jalan hujan deras menemani perjalan sampai di terminal Jombor. Sepanjang perjalanan tersebut juga jadi ngobrol ngalor ngidul sama Mas Dita.

Setelah ku pikir-pikir piknik kali ini nggak nyebelin amat. Ada sisi lain yang kuperoleh dari piknik ini. Aku jadi semakin mengenali Mas Dita yang ku pikirin tadinya nyebelin yang cuek dan suka ninggalin aku eh ternyata dia baek juga dan perhatian. Dia juga tau kesukaan ku kalau suka makan sayap. Ternyata Mas Dita suka memperhatikan ku kalau beli ayam pilih yang sayap. Selain itu dia juga ternyata pendengar setia walaupun dia nggak banyak ngomong karena dia masih inget aja apa yang aku omongin diwaktu yang lalu.

Pelajaran selanjutnya adalah betapa pentingnya kita harus menjaga kelestarian peninggalan sejarah. Dengan ke museum kita tau betapa hebatnya orang Indonesia. Mereka juga berani mati untuk melawan penjajah. Apa para Kimchil dan Alay mau ikut perang? 



























No comments: