Tuesday 31 March 2015

Pertunangan

1.      PERTUNANGAN

Mobil sedan berwarna perak terus melaju dengan gesit menelusuri aspal halus. Di dalamnya ada Roro  sedang duduk di kursi belakang, dia  masih kebingungan akan dibawa kemana. Matanya tertutup, kaki dan tangannya juga diikat. Disebelahnya ada Karen, sahabat terdekatnya. Sepanjang panjang Karen senyum-senyum sendiri melihat Roro meracau nggak jelas. Sedangkan Abi yang bertindak sebagai supir terus menenangkan Roro yang tampak panik.

“Kalian tuh ya emang bener-bener nyebelin banget. Semena-mena datang ke kamar hotel langsung main culik saja. Sahabat macam apa kalian?” racau Roro dengan nada sedikit marah.
“Kita nggak culik kamu koq. Kalau elu ngoceh terus gue lakban nih, biar persis diadegan sinetron,” Karen menaggapi dengan jail apalagi memang benar-benar menyiapkan lakban dan berpura-pura menjembarkan lakban hitam, suara lakban itu ternyata nggak membuat Roro diam tapi masih saja ngoceh.
“Wah....wahh.....sumpah nih. Ini bisa kena pasal penculikan dengan kekerasan,” omel Roro.
“Tenang aja Ren, gue kan pengacara gue bakal dampingin elu kalau Roro nuntut. Dan kayaknya bakalan nggak mungkin. Dia pasti balik ngucapin makasih ke kita.”
“Ini pasti kerjaannya mas Tri ya? Aduh kalian dibayar berapa sih sama dia buat nyiksa aku kayak gini,” Roro semakin geram dengna ulah sahabatnya. “Ada apaan sih? Kasih tau donk.”
“Kita nggak bakal kasih tau, kecuali kamu nyogok kita dengan Iphone terbaru,hahahah.” Gelak Abi diikuti oleh Karen yang sepakat dengan omongon Abi.

Akhirnya Roro diam juga mematung di kursinya. Tenaganya sudah habis untuk meronta-ronta. Semakin meronta semakin tenaganya hilang, sekarang lemas. Roro tau ini adalah acara kejutan tapi nggak dengan cara seperti ini. Pasti biang kerok semua ini adalah Tri, cowok yang dikencani selama 5 tahun. Roro menduga akan terjadi sesuatu yang indah.

Roro teringat pertama kali ketemu dengan Tri. Dua tahun sebelum resmi menjadi pacar. Tri adalah sahabat dari Abi sekaligus teman satu kost. Pada saat itu Abi berpacaran dengan Karen. Dulu Tri suka nganterin Abi pacaran. Karen merasa iba ngeliat Tri suka mojok sendirian di pojokan kost. Akhirnya Tri kenalkan Roro yang sering menyapa Tri jika pas pulang atau keluar kost. Dari situ situlah mereka jadi akrab.

Kenangan masa lalu terus menjalar. Roro ingat banget waktu Tri nembak menjadi pacar. Sama sekali nggak romantis. Masa nembak di Taksi. Waktu itu Tri mengantar Roro ke bandara karena akan mudik lebaran. Pas mau turun Tri menggennggam tangan Roro, mencegah agar nggak turun. Seketika itu juga meluncur deretan kata “mau nggak jadi pacar ku?”.

Roro jadi speachless dengan ulah Tri yang konyol seperti itu. Roro cuma bisa menatap Tri yang wajahnya gugup dan cemas. Tapi Roro mendengar pertanyaan itu dari suara Tri yang mantap dan serius. Lamunan Roro buyar ketika pak supir menegur supaya lekas menjawab pertanyaan dari Tri. Akhirnya Roro hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat di pesawat Tri kembali menanyakan kembali lewat SMS, Roro pun masih belum berubah jawabannya, mau menjadi pacar Tri.

Ok sekarang kembali saat ini. Entah sudah berapa lama perjalanan ini. Roro masih terjabak di mobil yang membawanya entah kemana. Karen dan Abi pun tidak bersuara, tidak ada obrolan. Jadi Roro benar-benar tidak bisa menebak akan dibawa kemana. Meskipun Abi dan Karen telah putus pacaran dan masing-masing sudah punya pasangan, mereka masih terlihat akrab dan kompak ngejahilin Roro. Termasuk saat ini yang sedang bersukutu dengan Tri.

Tiba-tiba terdengar bunyi telpon masuk di hanphone Karen. Dengan sigap Karen langsung mengangkatnya. “Iye bentar lagi kita nyampe, sabar donk.” Karen langsung menutup telponnya. Roro sedikit lega setidaknya perjalanan misteri ini akan berakhir.

“Ro, elu cinta nggak sih sama Tri?” tanya Karen lembut.
“Kalau aku nggak cinta, aku nggak mungkin nungguin dia belajar di Jerman,” jawab Roro lugas. “Ini pasti ada hubungannya sama Tri ya?” tanya Roro menebak.
Karen mengendikkan bahumya tapi percuma saja Roro nggak bakal melihat, lah kan matanya ketutupan. “No coment.”
“So ngartis aja kamu, kayak artis dikejar-kejar infotaiment.”
“Apa sih yang buat kamu suka dari Tri?” tanya Karen lagi tanpa menghiraukan pernyataan Roro sebelumnya.
Roro tidak langsung menjawab tapi menggumam, karena sedang mencari jawaban yang tepat. “Mungkin dia bisa jadi imam yang tepat. Waktu dia jadi imam dia melafalkan kalimat ayat-ayat suci itu dengan lantang.”
“Berarti sudah siap donk?” Abi menyela.
“Ya mau gimana lagi udah mateng,” Roro memahami apa yang dimaksud pertanyaan Abi.
“Terus kapan?” Karen menyahutnya lagi.
“Itu dia..... aku nggak tau. Setiap kali ditanya kapan pasti dia menghindar.” Bibir Roro mengerucut, tanda cemberut dan sedikit kesal.
“Cowok itu perlu banyak pertimbangan untuk mengajak nikah. Dia kan kepala keluarga.” Abi menyambar dan langsung membela Tri. “Kapan kita nikah beb?” tanya Abi meledek Karen, mantannya.
“Yuk sekarang..... tuh ada kantor KUA,” Karen menunjuk bangungan yang ada diluar mobil. “Pasti dech langsung ngebut. Itu kenapa gue minta patas putus sama kamu, kayaknya phobia sama KUA.” Karen menyindir Abi dengan ketus.
“Yach.... kena lagi dech gue.” Abi mengeluh.

Roro hanya tergelak mendengar pertengkaran kecil mereka. Roro tau apa yang membuat mereka putus. Alasannya klasik, Abi belum mau melamar Karen, padahal Karen sudah ngebet banget untuk duduk di pelaminan. Dengan pacarnya yang sekarang Karen pun masih belum bertunangan. Abi sering meledek Karen bahwa putus dengannya tidak menyelesaikan masalah, malah membuat masalah baru. Meskipun begitu mereka tetap akrab memenganggap sebagai persahabatan yang lebih.

“Udah sih kalian tuh kalau emang masih cinta balikan lagi.” Roro menengahi peredebatan antara Karen dan Abi.
“What!!!!” pekik Abi dan Karen bersamaan. “Its imposible,” nada Karen meninggi.
“Lah kenapa gak mungkin? Kalau kalian masih cinta dan ada harapan lanjut aja,” ujar Roro bijak. “Toh sampai saat ini Yana belum ngelamar kamu.”
“Tuh Ren dengarin apa kata Roro,” Abi tersenyum jahil, Karen melihat senyum itu begitu menyebalkan.
Mobil sedan yang dikendarai Abi melambat, dan tampaknya sudah sampai tujuan. Roro sedikit bernafas lega, penyekapan ini akan segera berakhir. Sudah nggak sabar apa yang akan terjadi. Belitan tali yang ada di kaki juga sudah dilepas oleh Karen. Terdengar pintu samping Roro juga sudah dibukakan oleh Abi. Roro menantikan saat penutup matanya dibuka.

“Ini tali di tangan gak dibukain juga?” protes Roro pada kedua sahabatnya.
“Bentar sih, bawel lu ah. Ini gue lagi cari sepatu lu.” Karen mengubek-ngubek alas mobil yang penuh dengan sampah bungkus jajan.
“Aku nggak bawa sandal atau sepatu, tadi kalian langsung culik aku ke mobil,” ucap Roro sebal pada Karen.
“Eh iya,heheehe,” gelak Karen karena kebodohannya sendiri. Karen melepas ikatan yang membelit tangan Roro. “Penutup matanya dibuka. Awas kalo dibuka.”

Karen menuntun Roro keluar dari mobil. Roro menebak ini pasti di pantai. Deburan ombak terdengar jelas dari kejauahan. Karen menggandeng tangan Roro yang sudah basah oleh keringat dingin karena gugup. Abi juga ikut menuntun Roro dari belakang. Pasir pantai yang lembut sudah dirasakan kaki Roro.

“Udah sampai, tapi jangan dibuka dulu penutupnya. Tunggu perintah,” kata Karen dengan galak.
“Ada apa sih? Perasaan hari ini bukan ulang tahun ku dech. Tapi kenapa ada acara kaya gini?”
“Terima aja dech, nggak usah kebanyakan ngeluh,” Karen masih saja galak menanggapi.

Berdasaran penerimaan indra pendengaran, Roro mendengar beberapa suara teman-teman dekatnya. Ada yang terawa cekikikan ada pula yang terus meledek Roro yang seperti orang buta. “Ok stand by,” ada suara dari handytalky. Roro jadi semakin nggak sabar apa yang akan terjadi.

“Udah siap Ro?” bisik Abi dari belakang.

Roro hanya menangguk. Peralahan ikatan dikepalanya semakin mengendur, dan akhirnya dilepas juga. Mata Roro masih terpincing untuk beradaptasi sinaran matahari yang sudah temaram. Di garis horizontal laut, matahari sudah setengah lingkaran. Sebuah pemandangan yang sangat indah.

“Ngapain juga sih mau liat sunset pakai acara penyekapan?” omel Roro pada Abi yang ada di belakangnya.
“Nih anak bawel dech. Diem aja dech liat tuh matahari.” Karen menunjuk matahari yang perlahan ngumpet di balik laut.
“Di nikmati saja Ro, ini adalah moment indah untuk mu.” Senyum Abi mengembang dengan tulus kepada Roro.
“Nih coba dech liat pake ini, lebih indah.” Karen memberikan teropong kepada Roro.

Roro merenggut teropong itu dari tangan Karen lalu langsung memakai. Kepala berputar meneropong langit. Nampaknya Roro belum mengetahui apa yang akan segera terjadi. Berkali-kali Roro mengedarkan pandangannya seperti radar. Sampai bingung kenapa Abi memberikan teropong kalau hanya untk melihat sunset.
“Nggak ada apa-apanya? Ngapain juga pakai teropong kalau cuma lihat sunset,” Roro kembali mengeluh.
“Tunggu aja,” ujar Karen yang ikut mengamati langit.

Roro kembali mennggunakan teropongnya. Lamat-lamat dari kejauhan muncul titik hitam mendekat. Namun benda itu belum terlihat jelas. Ada empat orang memegang gitar juga mendekat di samping Roro. Kini Roro fokus meneropong benda tersebut ada 4 bayangan hitam kian mendekat. Roro mencoba memainkan terpong tersebut untukk memperbesar tampilan. Dan yang muncul ajalah wajah Tri yang sedang terbang tandem menggunakan gantole.

Roro menyadari ada yang aneh, di belakang mereka ada sepanduk dan ada tulisnnya juga. Mereka terbang beriringan membuat sebuah formasi agar tulisannya terbaca dalam satu kalimat. Masih menggunakan Teropong Roro mencoba membaca tulisan terbut.

“Roro,” ucap Roro saat mengeja sepanduk pertama. “Me.....ni....kaah.....lah.” mulut Roro menganga, mendapati kata menikhalah. “Dengan ku.” Air mata Roro meleleh, mulutnya masih  menganga, Roro sangat terkejut. Sepanduk terakhir yang diterbangkan oleh Tri bertuliskan Tri Cinta Ro2. Roro jingkrakkan membaca tulisan itu. empat orang yang memegang gitar mulai mengalunkan lagu Mary Me yang di populerkan oleh Train.
“Ren....Karen...... Tri ngelamar aku,” pekik Roro pada sahabatnya. Persaan bahagia itu membuncah dengan tangisan haru, bahagia, dan masih belum percaya.
“Iya Tri ngelamar elu.” Senyum bahagia Karen diberikan untuk sahabatnya yang masih menangis.

Matahari terbenam, akustikan lagu Mary Me, temaram cahaya obor yang membuat suasana romantis yang sempurna. Roro nggak menyangka Tri bakal melakukan segila ini. Tri bukanlah orang yang romantis. Mentok romantisnya adalah candle light diner pada saat perayaan pacaran yang pertama, selebihnya Tri melupakan tanggal jadian.

Tri semakin mendekat, tangan Tri melambai kepada Roro. Dengan malu-malu Roro membalas lambaian. Meski sudah tidak menangis lagi tapi matanya masih sembab. Hap!!! Tri mendarat dengan mulus di pasir pantai. Matahari kian tenggelam,Tri nggak mau melewatkan momen romantis. Tri yang mengenakan setelan jas terlihat ganteng. Setengah berlari Tri menghampiri Roro yang dari tadi senyum-senyum terus.  

Dihadapan Roro, Tri berlutut. Wajahnya tampak sumeringah. Meski bertingah gugup tapi wajahnya berusaha tenang dan serius. Tangan kanan merogoh saku celana untuk megambil kota cincin. Roro berdiri dengan memilin pinggiran rok, sama-sama gugup. Lagu Mery Me masih mengalun suara dan ritmenya di pelankan sedikit.

Kini kotak cincin itu sudah terbuka. Berisikan dua cincin bermata batu akik entah jenisnya apa, yang satunya lagi cincin dari rumput. “Raden Ajeng Roro Gayatri Sudiroharjo, mau kah menikah dengan saya?” tanya Tri dengan suara yang lantang. “Jika kau terima lamaran ini ambil cincin dari rumput. Bila kamu menolaknya ambil cincin batu akik.”

Orang-orang disitu langsung riuh. Pernyataan Tri begitu aneh, biasanya untuk acara pertunangan akan memberikan cincin yang mahal dan tentunya yang paling bagus. Dahi Roro mengernyit, berfikir pacarnya memang aneh. Roro masih bergeming antara sedang mikir untuk memilih cincin yang mana dengan pola fikir pacarnya.
“Ro, cepetan pilih yang mana?” bisik Karen membuyarkan lamunan Roro.

Roro mulai menggerakan tangan kanan. Wajahnya terlihat tegang dan bingung pilih yang mana. Kini tangan Roro tepat di atas cincin batu akik. Dia sesaat lalu bergerak lagi ke arah cincin rumput. Lalu menurunkan lagi. suasan menjadi tegang karena Roro belum memilih.

“Tri, kamu serius ngelamar aku?” tanya Roro pelan, nadanya masih terlihat ragu.
Plak!! Tamparan mendarat di pipi kanan Roro, pelaku penamparan adalah Karen. “Ro, wake up, this not dream.” Mata Karen melototin Roro. Sedangkan yang lain tergelak melihat tingkah Karen.
Tri hanya tersenyum, memahami apa yang difikirkan oleh Roro. “Serius Ro. Aku ngelakuin ini karena benar-benar cinta kamu. Buat ku ini sudah saatnya kita melangkah ke anak tangga lebih tinggi. Aku yakin kamu bisa menjadi istri sholehah bisa bimbing anak-anak kita kelak,” Tri berusaha menyakinkan Roro. “Ro. Aku ingin kamu selalu ada disamping saya, kamu yang bisa membangkitkan semangat ku. Kamu juga orang paling tepat untuk berbagi kebahagiaan ku,” Tri mengakhiri pidatonya yang mengharukan.

Air mata Roro kembali meleleh mendengar pidato Tri. Padahal yang dimaksud Roro adalah kegilaan Tri melakukan lamaran secara ekstrim. Roro tau jika Tri takut ketinggian tetapi kenapa maah melakukan hal yang paling ditakutinya.

“Maksud aku, kamu melakukan lamaran semacam ini. Kamu terbang, padahal kamu takut ketinggian.” Roro meluruskan apa yang dimaksud.
“Karena saya benar-benar serius dan cinta sama kamu. Aku bakal mengalahkan ketakutan itu, mungkin besok kita yang mengalahkan ketakutan secara bersama. aku harus bersikap berani dulu untuk mengajak seseorang mengikuti aku.” Tri masih berlutut. Tutur kata Tri begitu lembut dan tulus.
“Jangan mewek lagi, cuzz pilih,” Karen kembali mengingatkan Roro yang masih terpaku dan terkesima oleh pidato Tri.

Tangan Roro kembali bergerak, kali ini dengan satu ayunan Roro langsung mengambil cincin yang terbuat rumput. Meski Roro belum tau filosofinya, tetapi Roro sudah yakin kalau Tri siap akan jadi suami yang terbaik. Begitu mendapat respon seperti itu Tri bangkit lalu memeluk Roro. Lalu memakaikan cincin itu ke jari manis Roro. Seluruh orang yang menyaksikan peristiwa itu bertepuk tangan. Sedangkan Karen menangis haru, melihat kedua sahabatnya berbahagia.

“Terima kasih buat teman-teman yang sudah hadir, khusunya Karen dan Abi, berkat penculikan kalian acara ini sukses.” Tri kembali berpidato. “Mungkin kalian bingung kenapa aku memilih cincin rumput, karena rumput akan terus tumbuh, begitu juga saya. Rumput bisa tumbuh dimana saja, cinta ku terhadap Roro akan seperti itu, dimana saja dan kapan saja tetap mencintai Roro.”

Kali ini Roro yang memeluk Tri. Sekali lagi Roro dibuat kagum sama calon suaminya. Nggak Cuma peluan tapi sebuah kecupan mesra di bibir Tri. Hal itu membuat orang yang melihat jadi tergelak. Acara pertunang ini ditutup dengan acara makan-makan.  



No comments: